Karto Masih Berdenyut...?

Resensi Buku SM Kartosuwiryo
Sumber: Majalah GAMMA, 12 September 1999, hal. 94
Judul buku:
Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia
S.M. KARTOSOEWIRJO,
oleh Al Chaidar, Darul Falah, Jakarta, Muharram 1420 H.


Pengarang muda ini ghirah dengan revolusi Darul Islam. Sangat merangsang membaca perjuangan ummat masa datang.

Sehari menjelang kemerdekaan RI, mengapa Soekarno-Hatta meninggalkan Jakarta, menghindar ke Re-ngasdengklok? Itu hanya salah satu pertanyaan yang muncul dari buku Al Chaidar bertajuk "Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo setebal 257 halaman dan diterbitkan DarulFalah, Jakarta (1999).

Ternyata, Soekarno dan tokoh lainnya termasuk yang "senantiasa setia menjaga necisnya pakaian dari kotoran dan debu perjuarigan", ketika itu menduga akan meletus pemberontakan PETA dan Heiho, sehingga merasa perlu menghindar ke Rengasdengklok. Pemberontakan itu ternyata tidak terjadi. Yang terjadi adalah ":..hari-hari menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo telah lebih dulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam" (hal.65). Bahkan, 13-14 Agustus 1945, Kartosoewirjo telah menyiapkan naskah proklamasi yang diedarkannya kepada para elite pergerakan.

Tak mengherankan bila para pemuda (nasionalis sekuler) ,''menculik" Soekarrio-Hatta, membawanya ke Jakarta, dan mendesak keduanya memproklamasikan kemerdekaan RI untuk mendahului upaya Kartosoewirjo yang nyaris mendeklarasikan kemerdekaan Negara Islam Indonesia.

Akhirnya, jadilah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. "Soekarno membacakan pernyatan kemerdekaan tersebut, tanpa salam dan ucapan basmalah sedikit punyang keluar dari mulutnya di hadapan sekelompok. orang yang relatif sedikit jumlahnya di luar rumahnya sendiri di Pegangsaan Timur." Teks proklamasi itu pun didasarkan pada teks proklamasi ala Kartosoewirjo yang pernah disosialisasikan.

Sejarah mencatat, kemerdekaan itu tidak membawa berkah. Salah satu buktinya adalah kehidupan perekonomian yang semakin morat-marit sejak masa proklamasi. Terbukti pula adanya, antara lain, pertarungan politik antara nasionalisme sekuler dengan komunisme, di awal-awal kemerdekaan. Rong-rongan politik lainnya.datang pula dari pihak Belanda, pada 21 Juni 1947, yang"...dengan karakter 'Yahudi'-nya melanggar persetujuan Linggarjati yang mengakui pemerintah RI di Jawa, Madura, dan Sumatera" (hal. 68).

Bahkan, Soekarno yang didewakan bertahun-tahun akhirnya tersungkur dari pentas politik bagai pesakitan. Kekuasaan Soekarno yang begitu besar tiba-tiba saja dirampas "fundamentalis Kejawen"; yang belakangan juga terjerembab dari singgasana kekuasaannya.

Buku karya A1 Chaidar yang amat kaya dengan catatan kaki ini memang ditujukan untuk "mengungkap manipulasi sejarah Darul Islam/DI-TII semasa Orde Lama dan Orde Baru", sebuah upaya mengoreksi sejarah. Buku ini banyak menjelaskan kasus sensitif; yang hanya bergema di kalangan terbatas.

Toh Al Chaidar, disadari atau tidak, tampak begitu asyik-masyuk, emosi dan ghirahnya terhanyut oleh semangat (masa lalu) revolusi Darul Islam almarhum Kartosoewiryo. A1 Chaidar pun antusias. mengajak umat mendukung institusi warisan almarhum Kartosoewirjo yang menurutnya masih eksis hingga kini.

Bacalah kata pengantar yang ia tulis sen-diri, dengan mengutip sikap Yusuf Qardha-wy, "Bergabunglah ke dalam daulah Islam yang baru, yang dipimpin langsung Rasulullah S.A.W:.." Dan menjadikannya dasar hukum untuk mengajak umat Islam mendukung daulah yang dipimpin oleh almarhum Kartosoewirjo, yang saat ini konon masih berdenyut. Apalagi, menurut A1 Chaidar, "…Setelah Rasulullah S.A.W. mendirikan Negara Madinah, tidak ada satu orang pun yang menapak tilas semangat jihad Rasulullah S.A.W. di Indonesia ini selain S.M. Kartosoewirjo...'' . (hal. x).

Dibandingkan dengan karya serupa yang pernah disusun Holk H. Dengel (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995) yang menyuguhkan biografi Kartosoewirjo dan melakukan pembahasan ideologis, buku Al Chaidar lebih jauh dari itu. Ia memposisikan dengan terang benderang sejarah Darul Islam (dan Kartosoewirjo) di tengah-tengah konflik politik nasional ketika itu.

Buku ini akan lebih lengkap bila misalnya,detik-detik proklamasi dan sekaligus berdirinya Negara Islam versi Kartosoewirjo diungkap lebih trans-paran. Misalnya, berjalan dan bertahan berapa lama Negara Islam yang diproklamasikan S.M. Kartosoewirjo, serta dimana situs bersejarah "basis masyarakat dan "pemerintahan" Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo itu berada.

Buku ini memiliki greget perjuangan yang cukup adekuat urifuk merangsang publik mengetahui sejarah masa lalu Darul Islam. Terlepas dari realibilitas da'i validitas informasinya, kita bertanya kritis: Seberapa jauh manfaat yang bisa diambil untuk kepentingan perjuangan umat Islam masa mendatang?

UMAR ABDUH

Aktif pada lembaga penelitian dan pengkajian lslam di Jakarta.
Memahami Kembali Sejarah Darul Islam di Indonesia